Senin, 10 Februari 2014

Patologi Sosial



A.   Defenisi dan Konsep Pelacuran
Pekerja Seks Komersial (PSK) atau yang biasa dikenal dengan prostitusi(Pelacuran) bukanlah masalah baru akan tetapi merupakan masalah lama yang baru diangkat. Di lihat dari perkembangan peradaban manusia, hampir semua Negara memiliki permasalahan di bidang prostitusi. Belum ada sebuah Negara yang meniadakan praktek prostitusi selain hanya menertibkannya. Tidak jarang praktek prostitusi ini ditentang oleh kaum agamawan termasuk masyarakat sendiri. Harus dilihat bahwa praktek prostitusi merupakan realitas sosial yangtidak dapat dipungkiri lagi. praktek prostitusi tersebut itu sendir bertentangan dengan moral, susila dan agama yang setiap saat dapat merusak keutuhan keluarga.
Istilah pelacuran berasal dari bahasa latin pro-situere yang berarti membiarkan diri berbuat zinah, melakukan persundalan, pencabulan. Sedangkan prostitue dikenal pula dengan istilah wanita tuna susila (WTS). Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya dan sering dikatakan setua umur kehidupan itu sendiri. Pelacuran ini selalu ada pada semua negara berbudaya sejak zaman purba sampai sekarang dan senantiasa menjadi masalah sosial, menjadi objek urusan hukum dan tradisi. Selanjutnya, dengan berkembangnya teknologi, industri dan kebudayaan manusia, turut berkembang pula praktek pelacuran dalam berbagai bentuk dan tingkatannya.
Para pelacur atau WTS yang menjadikan pelacuran sebagai lapangan kerja tersebut dapat digolongkan dalam dua kategori yaitu mereka yang melakukan profesinya dengan sadar dan sukarela berdasarkan motivasi tertentu, atau mereka yang melakukannya karena ditawan atau dijebak oleh germo.
Di tengah-tengan terjadinya reaksi terhadap praktek prostitusi ternyata tidak membuat kegiatan prostitusi berkurang tetapi justru cenderung bertambah kuantitasnya. Hal ini terjadi karena disamping factor akulturasi budaya ada jugafactor lain seperti ekonomi maupun karena kondisi tertentu seperti, pengaruh lingkungan dan lain sebagainya.
praktek prostitusi ini merupakan perbuatan yang merusak moral dan mental yang dapat menghancurkan pula keutuhan keluarga, namun dalam hukum positif sendiri tidak melarang pelaku praktek prostitusi tetapi hanyamelarang bagi siapa yang menyediakan tempat atau memudahkan terjadinya praktek prostitusi. Hal ini diatur dalam pasal 296 KUHP yang bunyinya adalahsebagai berikut : “ Barang siapa dengan sengaja menyebabkan ataumemudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, dan menjadikannya sebagaipencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satutahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.
Di lihat dari ketentuan tersebut di atas, maka perlu adanya sebuah peraturan yang mengatur secara menyeluruh baik terhadap mucikari (germo) maupun pelaku praktek prostitusi itu sendiri karena ada sebagian prostitusi yangtidak melalui mucikari tetapi melakukan praktek prostitusi.
Pemerintah harus berperan secara maksimal sehingga diharapkan praktek prostitusi dapat berkurang melalui kegiatan pembinaan atas kerja sama interdepartemental. Masyarakat pun harus mengambil peran yang maksimal untuk mendukung peran pemerintah khususnya dalam upaya mengurangi praktek prostitusi. Aparat penegak hukum juga harus bertindak secara tegas dalam menjalankan aturan tentang larangan praktek prostitusi.
Pelacuran merupakan masalah yang tidak hanya melibatkan pelacurnya saja, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan suatu kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti germo, para calo, serta konsumen-konsumen yang sebagian besar pelakunya merupakan laki-laki yang sering luput dari perhatian aparat penegak hukum.
Di Indonesia pemerintah tidak secara tegas melarang adanya praktek-praktek pelacuran. Ketidak tegasan sikap pemerintah ini dapat dilihat pada Pasal 296, yang bunyinya adalah sebagai berikut : “ Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.
Dan pasal 506 yang berbunyi “barangsiapa menarik keuntungan dariperbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pelacur, diancamdengan pidana kurungan paling lama satu tahun” Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Yang dilarang dalam KUHP adalah mengeksploitir seksualitas orang lain baik sebagai “pencaharian atau pun kebiasaan” (pasal 296 KUHP) atau ‘menarik keuntungan’ dari pelayanan seks (komersial) seorang perempuan dengan praktek germo (pasal 506 KUHP). Pasal-pasal tersebut dalam KUHP hanya melarang mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara illegal, artinya larangan hanya diberikan untuk mucikari atau germo, sedangkan pelacurnya sendiri sama sekali tidak ada pasal yang mengaturnya. Kegiatan seperti itupun tidak dikelompokkan sebagai tindakan kriminal.
Meskipun demikian hukum pidana tetap merupakan dasar dari peraturan-peraturan dalam industri seks di Indonesia. Karena larangan pemberikan pelayanan seksual khususnya terhadap praktek-praktek pelacuran tidak ada dalam hukum negara, maka peraturan dalam industri seks ini cenderung didasarkan pada peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah daerah, baik pada tingkatpropinsi, kabupaten dan kecamatan, dengan mempertimbangkan reaksi, aksi dantekanan berbagai organisasi masyarakat yang bersifat mendukung dan menentang pelacuran tersebut.
B.     Faktor-faktor penyebab timbul dan berkembangnya prostitusi (pelacuran).
Hal itu banyak disebabkan Perkembangan teknologi merupakan tuntutan zaman, tuntutan kehidupan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Dengan perkembangan teknologi pulamenjadikan kota (terutama di negara-negara sedang berkembang) dibangun sedemikian, sehingga terjadi perbedaan yang sangat mencolok bila dibandingkan dengan kondisi di perdesaan. Semua itu merupakan magnit urbanisasi yang sangat kuat.
Urbanisasi (secara demografi, dalam arti perpindahan penduduk dari desa ke kota) mereka lakukan dengan maksud untuk mempertahankan hidup dan mempercepat proses pengembangan kehidupan. Melalui media televisi, terlihat gebyarnya perkotaan, betapa mudahnya orang mendapatkan kemewahan diperkotaan (terutama kota-kota besar). Semua itu menjadikan kecemburuan bagiwaga perdesaan. Terjadilah perpindahan penduduk dari desa ke kota-kota besar,dengan satu tujuan yakni mencari pekerjaan demi uang.
Dari berbagai pengamatan dan penelitian terdahulu dapat diketahui bahwa sebagai akibat urbanisasi yang tanpa diikuti urbanisasi secara sosial (perubahan pola pikir dan peri laku urbanisan) antara lain adanya beberapa dampak negatif dalam aspek fisik lingkungan, aspek ekonomi, maupun aspek sosial dan hukum, yang salah satunya adalah timbulnya prostitusi (pelacuran).
Dengan modal pengetahuan dan keterampilan yang seadanya, tanpa mengetahui perbedaan yang sangat kontras antara perdesaan di kota-kota kecildengan perkotaan merupakan kendala utama dalam memperoleh pekerjaan yang diimpikan sebelumnya. Keadaan terpaksa oleh kegagalan demi kegagalan untuk mendapatkan pekerjaan legal, keengganan untuk kembali ke desa, ditunjangdengan tipuan dan rayuan para lelaki hidung belang merupakan langkah awal menuju dunia prostitusi.
Dengan menerapkan teori Swab, maka faktor-faktor yang menyebabkan timbul dan berkembangnya prostitusi antara lain.
·       Kondisi kependudukan, yang antara lain: jumlah penduduk yang besar dengan komposisi penduduk wanita lebih banyak dari pada penduduk laki-laki.
·       Perkembangan teknologi, yang antara lain: teknologi industri kosmetik termasuk operasi plastik, alat-alat dan/atau obat pencegah kehamilan;teknologi dalam telekomunikasi dan transportasi. Dalam hal ini yang jelas adalah penyalahgunaan terhadap produk-produk perkembangan teknologi di bidang industri
·       Lemahnya penerapan, dan ringannya sanksi hukum positif yang diterapkan terhadap pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum tersebutdapat dilakukan oleh pelaku (subyek) prostitusi, mucikari, pengelola hotel/penginapan, dan lain-lain. Mahalnya biaya (resmi) pernikahan, sulitnuya prosedur perceraian juga merupakan faktor pengembangan praktek prostitusi secara kuantitas
·       Kondisi lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungann alam (fisik) yang menunjang. Kurangnya kontrol di lingkungan permukiman oleh masyarakat sekitar, serta lingkungan alam seperti: jalur-jalur jalan, taman-taman kota, atau tempat-tempat lain yang sepi dan kekurangan fasilitas penerangan di malam hari, sangat menunjang untuk terjadinya praktek prostitusi.

Sedangkan Kartini Kartono (2005: 266) menjelaskan secara garis besar usaha untuk mengatasi masalah tuna susila ini dapat dibagi mejadi dua, yaitu:
a) Usaha yang bersifat preventif (pencegahan), antara lain dengan:
(1) Penyempurnaan perundang-undang mengenai larangan atau pengaturan penyelenggaraan pelacuran;
(2) Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohanian, untuk memperkuat keimanan terhadap nilai-nilai religious dan norma kesusilaan;
(3) Menciptakan bermacam-macam kesibukan dan kesempatan rekreasi bagi anak-anank puber dan adolesens untuk menyalurkan kelebihan energinya;
(4) Memperluas lapangan kerja bagi wanita, disasuaikan dengan kodrat dan bakatnya, serta mendapatkan upah/gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya;
(5) Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan keluarga;
(6) Pembentukan badan atau tim koordinasi dari semua usaha penanggulangan pelacuran yang dilakukan oleh beberapa instansi sekaligus mengikutsertakan potensi masyarakat lokal untuk membantu melaksanakan kegiatan pencegahan atau penyebaran
pelacur;
(7) Penyitaan terhadap buku-buku dan majalah-majalah cabul, gambar-gambar porno, film-film biru dan sarana-sarana lain yang merangsang nafsu seks;
(8) Meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya.
b) Tindakan yang bersifat represif dan kuratif, usaha yang dimaksudkan sebagai kegiatan menekan (menghapus, menindas) dan usaha menyembuhkan para wanita dari ketunasusilaannya untuk membawa mereka ke jalan yang benar. Usaha ini meliputi :
(1) Melalui lokalisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi orang melakukan pengawasan/kontrol yang ketat demi menjamin kesehatan dan keamanan para prostitue serta lingkungannya;
(2) Untuk mengurangi pelacuran, diusahakan melalui aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi,agar mereka dapat dikembalikan sebagai warga masyarakat yang susila;
(3) Penyempurnaan tempat-tempat penampungan bagi para wanita tunasusila terkena razia; disertai pembinaan yang sesuai dengan bakat dan minat masing-masing;
(4) Pemberian suntikan dan pengobatan pada interval waktu tertentu untuk menjamin kesehatan para prostitue dan lingkungannya;
(5) Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan profesi pelacuran dan mau memulai hidup susila;
(6) Mengadakan pendekatan terhadap pihak keluarga pihak pelacur dan masyarakat asal mereka agar mereka mau menerima kembali bekas-bekas wanita tunasusila itu mengawali hidup baru;
(7) Mencarikan pasangan hidup yang permanen/suami bagi wanita tunasusila untuk membawa mereka kejalan yang benar;
(8) Mengikutsertakan ex-WTS (bekas wanita tuna susila) dalam usaha transmigrasi, dalam rangka pemerataan penduduk tanah air dan perluasan kesempatan kerja bagi wanita.
Dari pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa usaha yang dilakukan sebagai upaya penanggulangan terhadap pelacuran dapat ditempuh dengan dua cara yaitu preventif (pencegahan) dengan cara membenahi sistem perundang-undangan dan hukum di Indonesia, memberikan pendidikan kerohanian dan seks, mempeluas lapangan kerja dan mengikutsertakan masyarakt lokal dalam pencegahan dan penyebaran pelacuran. Sedangkan cara kuratif (penyembuhan) yang dapat ditempuh yakni dengan cara mengadakan tempat resosialisasi bagi pelacur baik di kota maupun di desa, penyempurnaan tempat-tempat penampungan pelacur, menambah lapangan kerja baru dan penjaminan mutu kesehatan bagi pelacur oleh pemerintah.










Daftar Pustaka

Kartono, Kartini. 2003. Patologi Sosial Jilid 1. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
ttp://siregar87.mywapblog.com/kebijakan-hukum-pidana-terhadap-pelacura.xhtml

Tidak ada komentar:

Posting Komentar